night, fantasy in my life!!
when his eyes closed about
recalls images flashed with you!
laughter, sad, happy! all unfold right!!
you're looking for attention in my life
not one that you can
tek warm hug ever revealed to you
you, me, him and his life goals are arguing
You will always be an evening to remember for your life
and you will remember also the opinion!
I am a friend in loneliness!
also proper friend of a complement.
Erwin Ahoy
Rabu, 14 Maret 2012
Poem "Erwin_Ahoy - is_Friends"
night, fantasy in my life!!
when his eyes closed about
recalls images flashed with you!
laughter, sad, happy! all unfold right!!
you're looking for attention in my life
not one that you can
tek warm hug ever revealed to you
you, me, him and his life goals are arguing
You will always be an evening to remember for your life
and you will remember also the opinion!
I am a friend in loneliness!
also proper friend of a complement.
when his eyes closed about
recalls images flashed with you!
laughter, sad, happy! all unfold right!!
you're looking for attention in my life
not one that you can
tek warm hug ever revealed to you
you, me, him and his life goals are arguing
You will always be an evening to remember for your life
and you will remember also the opinion!
I am a friend in loneliness!
also proper friend of a complement.
Puisi "Erwin_Ahoy - Adalah_Teman"
malam, hayal dalam hidupku!!!!!!!!
dikala mata hendak tertutup rapat
trlintas gambar kenang bersamamu!
tawa, sedih, senang! semua terungkap tepat!!!!!
kau cari perhatian dalam hidupku
tak satu pun yang kau dapat
peluk hangat tek pernah terungkap padamu
kau, aku, dia dan tujuan hidup saling berdebat
kau ingat akan selalu suatu senja akan hidupmu
dan kau ingat pula akan pendapat!!!!
aku teman dalam sepiMu!
juga teman yang melengkap tepat.
dikala mata hendak tertutup rapat
trlintas gambar kenang bersamamu!
tawa, sedih, senang! semua terungkap tepat!!!!!
kau cari perhatian dalam hidupku
tak satu pun yang kau dapat
peluk hangat tek pernah terungkap padamu
kau, aku, dia dan tujuan hidup saling berdebat
kau ingat akan selalu suatu senja akan hidupmu
dan kau ingat pula akan pendapat!!!!
aku teman dalam sepiMu!
juga teman yang melengkap tepat.
Selasa, 06 Maret 2012
Contoh makalah
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Kunci pembangunan masa mendatang bagi bangsa indonesia adalah
pendidikan. sebab dengan pendidikan diharapkan setiap individu dapat
meningkatkan kualitas keberadaannya dan mampu berpartisipasi dalam
gerak pembangunan. Dengan pesatnya perkembangan dunia di era
globalisasi ini,terutama di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan,
maka pendidikan nasional juga harus terus-menerus dikembangkan
seirama dengan zaman. Pada umumnya sebuah sekolah dan pendidikan
bertujuan pada bagaimana kehidupan manusia itu harus ditata, sesuai
dengan nilai-nilai kewajaran dan keadaban (civility). Semua
orang pasti mempunyai harapan dan cita-citabagaimana sebuah kehidupan
yang baik. Karena itu pendidikan pada gilirannya berperan
mempersiapkan setiap orang untuk berperilaku penuh
keadaban(civility). Keadaban inilah yang secara praktis sangat
dibutuhkan dalam setiapgerak dan perilaku.
Dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 BAB I Pasal
1 ayat 1 bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia sera keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Selama ini pendidikan di Indonesia masih
menggunakan metode tradisional dan dikotomis (terjadi pemisahan)
antara pendidikan yang berorientasi iman dan takwa (imtak) dengan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek). Pendidikan seperti ini tidak
memadai lagi untuk merespon perkembangan masyarakat yang sangat
dinamis. Metode pendidikan yang harus diterapkan sekarang adalah
dengan mengembangkan pendidikan yang integralistik yang memadukan
antara iman dan takwa (imtak) dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
(iptek).
Semakin melemahnya bangsa ini pasca krisis moneter yang kita alami
telah membuat Indonesia berada di urutan bawah dalam hal kualitas
paendidikannya. Minimnya sarana dan prasarana pendukung menyebabkan
pengajaran tidak dapat dilakukan dengan optimal.
1.2. Rumusan
masalah
Dalam permasalahan ini penulis lebih menekankan sejauh mana peran
pendidik dalam upaya peningkatan kualitas pendidik dalam mutu
pendidikan. Pertanyaan dari masalah yang menjadi analisa dalam
penelitian diformulasikan dengan pertanyaan – pertanyaan di bawah
ini:
1. Apa pendidikan
itu?
2. Mengapa
pendidikan itu dilakukan?
3. Bilamana pendidikan itu dilakukan?
4. Bagaimana pendidikan itu dilakukan?
5. Dimana pendidikan itu dikerjakan?
6. Kemana pendidikan itu diarahkan?
7. Siapa yang bertanggungjawab atas pendidikan?
1.3.
Tujuan Penulisan
Penulis menyusun karya tulis ilmiah ini dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui
seberapa besar tugas dan peran pokok seorang pendidik atau pengajar
pada proses belajar-mengajar
2. Mengupayakan
agar tugas dan peran pokok seorang pendidik dalam PBM bisa dijalankan
oleh setiap guru dengan baik yang pada akhirnya tujuan utama
pendidikan bisa tercapai
3. Mengetahui unsure-unsur yang terkait dalam dunia pendidikan
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah agar pendidik
melaui pemahaman akan fungsi tugas dan perannya bisa meningkatkan
kemampuan mendidik atau mengajar terhadap anak didiknya serta mampu
mengembangkan potensi diri peserta didik, mengembangkan kreativitas
dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif,
sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Apa pendidikan itu?
2.1. Beberapa
Definisi Mengenai Pendidikan
Beberapa definisi mengenai pendidikan dapat dikemukakan di bawah ini
: M.J. Langeveld (1995) :
12.1.1) Pendidikan
merupakan upaya manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa
kepada kedewasaan.
22.1.2) Pendidikan ialah
usaha menolong anak untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya, agar
bisa mandiri, akil-baliq, dan bertanggung jawab secara susila.
32.1.3) Pendidikan
adalah usaha mencapai penentuan-diri-susila dan tanggung jawab.
Stella
van Petten Henderson : Pendidikan merupakan kombinasai dari
pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial. Kohnstamm
dan Gunning (1995) : Pendidikan adalah pembentukan hati nurani.
Pendidikan adalah proses pembentukan diri dan penetuan-diri secara
etis, sesuai denga hati nurani.
John
Dewey (1978) :
Aducation
is all one with growing; it has no end beyond itself. (pendidikan
adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan; pendidikan
sendiri tidak punya tujuan akhir di balik dirinya).
H.H
Horne :
Dalam
pengertian luas, pendidikan merupakan perangkat dengan mana kelompok
sosial melanjutkan keberadaannya memperbaharui diri sendiri, dan
mempertahankan ideal-idealnya.
Encyclopedia
Americana (1978) :
- Pendidikan merupakan sebarang proses yang dipakai individu untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan, atau mengembangkan sikap-sikap ataupun keterampilan-keterampilan.
- Pendidikan adalah segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis dan intensional dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tertentu.
Dari pelbagai definisi tersebut di atas dapat kita kita simpulkan
bahwa pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam
kehidupan manusia untuk mengantarkan anak manusia ke dunia peradaban.
Pendidikan juga merupakan bimbingan eksistensial manusiawi dan
bimbingan otentik, agar anak belajar mengenali jatidirinya yang unik,
bisa bertahan hidup, dan mampu memiliki, melanjutkan-mengembangkan
warisan-warisan sosial generasi yang terdahulu.
2.2. Pengertian Pendidikan
Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya
dengan tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan
budaya dan meneruskannya dari gnerasi ke generasi, akan tetapi juga
diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan.
Pendidikan bukan hanya menyampaikan keterampilan
yang sudah dikenal, tetapi harus dapat meramalkan berbagai jenis
keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus menemukan
cara yang tepat dan cepat supaya dapat dikuasai oleh anak didik.
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara
sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi
dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai
seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat, dengan memilih
isi (materi), strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai.
Dilihat dari sudut perkembangan yang dialami oleh anak, maka usaha
yang sengaja dan terencana tersebut ditujukan untuk membantu anak
dalam menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang
dialaminya dalam setiap periode perkembangan. Dengan kata lain,
pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai
keberhasilan dalam perkembangan anak.
Branata (1988) mengungkapkan bahwa Pendidikan
ialah usaha yang sengaja diadakan, baik langsung maupun secara tidak
langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai
kedewasaan. Pendapat diatas seajalan dengan pendapat Purwanto (1987
:11) yang menyatakan bahwa Pendidikan adalah pimpinan yang diberikan
dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam
pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri
dan bagi masyarakat.
Kleis (1974) memberikan batasan umum bahwa :
”pendidikan adalah pengalaman yang dengan
pengalaman itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami seseuatu
yang sebelumnya tidak mereka pahami. Pengalaman itu terjadi karena
ada interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya.
Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan
selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan
(development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam
lingkungannya”.
Proses belajar akan menghasilkan perubahan dalam
ranah kognitif (penalaran, penafsiran, pemahaman, dan penerapan
informasi), peningkatan kompetensi (keterampilan intelektual dan
sosial), serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai,
sikap, penghargaan dan perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau
merespon sesuatu rangsangan (stimuli).
Orang yakin dan percaya untuk menanggulangi
kemiskinan, cara utama adalah dengan memperbesar jumlah penduduk yang
bersekolah dan terdidik dengan baik. Dengan kata lain, pendidikan
dipandang sebagai jalan menuju kemakmuran.
Manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak
berdaya sama sekali. Dia sangat membutuhkan bantuan yang penuh
perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, terutama ibunya, supaya
dia dapat hidup terus dengan sempurna, jasmani dan rohani. Orang
tualah yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap pendidikan
anaknya. Dalam ilmu jiwa dikenal dengan istilah pertumbuhan dan
perkembangan, yaitu supaya anak sempurna dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Pertumbuhan ialah perubahan-perubahan yang terjadi
pada jasmani; bertambah besar dan tinggi. Perkembangan lebih luas
dari pertunbuhan ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada rohani
dan jasmaniah. Dengan kata lain, perkembangan merupakan suatu
rentetan perubahan yang sifatnya menyeluruh dalam interaksi anak dan
lingkungannya.
Oleh karena itu Idris (1982:10) mengemukakan bahwa
:
”Pendidikan adalah serangkaian kegiatan
komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik
yang secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka
memebrikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti
supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar
menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Potensi disini ialah
potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan, dan
keterampilan.”
2.3. Pengertian Pendidikan menurut Para Ahli
1. John Dewey.
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental
secara intelektual, emosional ke arah alam dan sesama manusia
2. M.J. Longeveled
Pendidikan adalah usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang
diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih
tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya
sendiri.
3. Thompson
Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk
menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku,
pikiran dan sifatnya.
4. Frederick J. Mc Donald
Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk
merubah tabiat (behavior) manusia.
5. H. Horne
Pendidikan adalah proses yang terus-menerus dari penyesuaian yang
berkembang secara fisik dan mental yang sadar dan bebas kepada Tuhan.
6. J.J. Russeau
Pendidikan adalah pembekalan yang tidak ada pada pada saat anak-anak,
akan tetapi dibutuhkan pada saat dewasa.
7. Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran,
serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu
hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan
masyarakatnya.
8. Ahmad D. Marimba
Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
9. Insan Kamil
Pendidikan adalah usaha sadar yang sistematis dalam mengembangkan
seluruh potensi yang ada dalam diri manusia untuk menjadi manusia
yang seutuhnya.
10. Ivan Illc
Pendidikan adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup.
11. Edgar Dalle
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah
sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap
untuk masa yang akan datang.
12. Hartoto
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis, dan
terus-menerus dalam upaya memanusiakan manusia.
13. Ngalim Purwanto
Pendidikan adalah segala urusan orang dewasa dalam pergaulannya
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya
kearah kedewasaan.
14. Driakara
Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda atau pengangkatan
manusia.
15. W.P. Napitulu
Pendidikan adalah kegiatan yang secara sadar, teratur, dan terencana
dalam tujuan mengubah tingkah laku ke arah yang diinginkan.
2.4. Pengertian Pendidikan Menurut Undang-Undang dan GBHN
16. UU No. 2 tahun 1989
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa
yang akan datang.
17. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
18. GBHN
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
- Mengapa pendidikan itu dilakukan?
2.5. Tujuan Pendidikan
Telah kita ketahui bersama bahwa berhasil tidaknya
suatu usaha atau kegiatan tergantung kepada jelas tidaknya tujuan
yang hendak dicapai oleh orang atau lembaga yang melaksanakannya.
Berdasarkan pada pernyataan ini, maka perlunya suatu tujuan
dirumuskan sejelas-jelasnya dan barulah kemudian menyusun suatu
program kegiatan yang objektif sehingga segala energi dan kemungkinan
biaya yang berlimpah tidak akan terbuang sia-sia.
Apabila kita mau berbicara tentang pendidikan
umumnya, maka kita harus menyadari bahwa segala proses pendidikan
selalu diarahkan untuk dapat menyediakan atau menciptakan
tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan bangsa, negara, dan tanah
air. Apabila negara, bangsa dan tanah air kita membutuhkan
tenaga-tenaga terdidik dalam berbagai macam bidang pembangunan, maka
segenap proses pedidikan termasuk pula sistem pendidikannya harus
ditujukan atau diarahkan pada kepentingan pembangunan masa sekarang
dan masa-masa selanjutnya.
GBHN tahun 1999 mencantumkan tentang tujuan
pendidikan nasional :
”Pendidikan nasional bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”
Selanjutnya tujuan pendidikan nasional tercantum
dalan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang
menyatakan:
”Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”
Pernyataan-pernyataan diatas tampak jelas bahwa
pendidikan harus mampu membentuk atau menciptakan tenaga-tenaga yang
dapat mengikuti dan melibatkan diri dalam proses perkembangan, karena
pembangunan merupakan proses perkembangan, yaitu suatu proses
perubahan yang meningkat dan dinamis. Ini berarti bahwa membangun
hanya dapat dilaksanakan oleh manusia-manusia yang berjiwa
pembangunan, yaitu manusia yang dapat menunjang pembangunan bangsa
dalam arti luas, baik material, spriritual serta sosial budaya.
Sejarah pendidikan kita dapat menerapkan
perkembangan pendidikan dan usaha-usaha perwujudannya sebagai suatu
cita-cita bangsa dan negara, masyarakat atau masa dan memberikan ciri
khas pelaksanaan pendidikannya.
Setiap tindakan pendidikan merupakan bagian dari
suatu proses menuju kepada tujuan tertentu. Tujuan ini telah
ditentukan oleh mssyarakat pada waktu dan tempat tertentu dengan
latar belakang berbagai macam faktor seperti sejarah, tradisi,
kebiasaan, sistem sosial, sistem ekonomi, politik dan kemauan bangsa.
Berdasarkan faktor-faktor ini UNESCO telah
memberikan suatu deskripsi tentang tujuan pendidikan pada umumnya dan
untuk Indonesia sendiri tujuan itu telah ditetapkan dalam ketetapan
MPR.
Pertama, UNESCO
menggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai ”menuju Humanisme
Ilmiah”. Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka humanisme ilmiah menolak
ide tentang manusia yang bersifat subjektif dan abstrak semata.
Manusia harus dipandang sebagai mahluk konkrit yang hidup dalam ruang
dan waktu dan harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat
yang tidak boleh diobjekkan. Dalam kerangka ini maka tujuan sistem
pendidikan adalah latihan dalam ilmu dan latihan dalam semangat ilmu.
Kedua,
pendidikan harus mengarah kepada kreativitas. Artinya, pendidikan
harus membuat orang menjadi kreatif. Pada dasarnya setiap individu
memiliki potensi kreativitas dan potesi inilah yang ingin dijadikan
aktual oleh pendidikan. Semangat kreatif, non konformist dan ingin
tahu, menonjol dalam diri manusia muda. Mereka umumnya bersikap
kritis terhadap nilai-nilai yang ada dan jika mereka menemukan bahwa
nilai-nilai itu sudah ketinggalan jaman, maka mereka ingin
merombaknya. Disini pendidikan berfungsi ganda, menyuburkan
kreativitas, atau sebaliknya mematikan kreativitas.
Ketiga, tujuan
pendidikan harus berorientasi kepada keterlibatan sosial. Pendidikan
harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dengan amsyarakat
secara bertanggung jawab. Dia tidak hanya hidup dan menyesuaikan diri
dengan struktur-struktur sosial itu. Disini seorang individu
merealisir dimensi-dimensi sosialnya lewat proses belajar
berpartisipasi secara aktif lewat keterlibatan secara meyeluruh dalam
lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini,
suatu misi pendidikan ialah menolong manusia muda melihat orang lain
bukan sebagai abstriaksi-abstraksi, melainkan sebagai mahluk konkrit
dengan segala dimensi kehidupannya.
Keempat,
tekanan terakhir yang digariskan UNESCO sebagai tujuan pendidikan
adalah pembentukan manusia sempurna. Pendidikan bertugas untuk
mengembangkan potensi-potensi individu semaksimal mungkin dalam
batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai,
terampil, jujur, yang tahu kadar kemampuannya, dan batas-batasnya,
serta kerhormatan diri. Pembentukan manusia sempurna ini akan
tercapai apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang
harmonis dan integral antara dimensi-dimensi manusiawi seperti
dimensi fisik, pada pokoknya pendidikan itu adalah humansisasi,
karena itu mendidik berarti ”memanusiakan manusia muda dengan cara
memimpin pertumbuhannya sampai dapat berdikari, bersikap sendiri,
bertanggung jawab dan berbuat sendiri”. (Ibid, 1980)
- Bilamana pendidikan itu dilakukan?
2.6. Pendidikan
Anak Usia Dini
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa "warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus" (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya" (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.
Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa "warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus" (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya" (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.
Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:
- Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
- Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
- Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
- Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
- Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Pada zaman modern ini orang tua semakin
sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula
bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat
memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap
agar anak-anak mereka "cepat menjadi pandai." Sementara itu
banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya
gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak
seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat
membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak
yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang
dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan
"perilaku aneh" dari anak itu merupakan tanda bahwa anak
memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru
dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan
istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan
isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.
- Dimana pendidikan itu dikerjakan?
2.7. Jalur Pendidikan
Tuntutan masyarakat akan kebutuhan pendidikan
membuat pendidikan terus berkembang sejalan dengan pembangunan
ansioanl. Pendidikan menjadi kunci kemajuan dan keberhasilan dari
suatu pembangunan sebuah negara. Agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan pendidikan maka di dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan nasional No.20 tahun 2003 terdapat jalur pendidikan yang
didalamnya terdapat pendidikan formal, non formal, dan informal.
Pendidikan formal disebut pula sistem pendidikan sekolah. Pendidikan
nonformal dan informal disebut pula sistem pendidikan luar sekolah.
Untuk lebih membedakan ketiga jenis satuan
pendidikan diatas maka harus ada kriteria yang lebih umum untuk dapat
membedakan ketiganya. Oleh karena itu Coombs (1973) membedakan
pengertian pendidikan sebagai berikut
”Pendidikan formal adalah kegiatan yang
sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dengan
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf
dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi yang
berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan
profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus”.
Walaupun masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi
setiap orang untuk belajar, namun kita menyadari bahwa sekolah adalah
tempat dan saat yang sangat strategis bagi pemerintah dan masyarakat
untuk membina seseorang dalam menghadapi masa depannya.
”Pendidikan informal adalah proses yang
berlangsung sepanjang usia sehingga asetiap orang memperoleh nilai,
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bersumber dari pengalaman
hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah
pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan
pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media masa”
Walaupun demikian, pengaruhnya sangatlah besar
dalam kehidupan seseorang, karena dalam kebanyakan masyarakat
pendidikan informal berperan penting melalui keluarga, masyarakat,
dan pengusaha. Pendidikan dalam keluarga adalah yang pertama dan
utama bagi setiap manusia. Seseorang kebanyakan berada dalam rumah
tangga dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Sampai umur tiga
tahun seseorang akan selalu berada di rumah tangga. Pada masa itulah
diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang, psikiater, kalau
menemui suatu penyimpangan dalam kehidupan seseorang, akan mencari
sebab-sebabnya pada masa kanak-kanak orang itu. Coombs dalam Sudjana
(2001:22) :
”Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan
terorganisasi dan sistematis diluar sistem persekolahan yang mapan,
dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan
yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik
tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”.
Bagi masyarakat Indonesia, yang masih banyak
dipengaruhi proses belajar tradisional, pendidikan nonformal akan
merupakan cara yang mudah sesuai dengan daya tangkap rakyat, dan
mendorong rakyat menjadi belajar, sebab pemberian pendidikan tersebut
dapat disesuaikan dengan keadaan lingkungan dan kebutuhan para
peserta didik.
Ketiga pengertian diatas dapat digunakan untuk
membedakan karakteristik dari setiap jalur pendidikan. Namun, Axinn
(1974) membuat penggolongan program-program kegiatan termasuk ke
dalam pendidikan formal, nonformal dan informal dengan menggunakan
kriteria ada atau tidak adanya kesengajaan dari kedua belah pihak
yang berkomunikasi, yaitu pihak pendidika (sumber belajar atau
fasilitator) dan pihak peserta didik (siswa atau warga belajar).
Kegiatan yang ditandai adanya kesengajaan dari
kedua belah pihak yaitu pihak pendidik yang sengaja membelajarkan
peserta didik, dan peserta didik yang senagja untuk belajar sesuatu
dengan bimbingan, pembelajaran dan pelatihan dari pendidik, maka
kegiatan tersebut digolongkan kedalam pendidikan formal atau
penddiikan informal. Apabila kesengajaan itu hanya timbul dari pihak
pendidik untuk membantu peserta didik guna memperoleh pengalaman,
sedangkan pihak peserta didik tidak sengaja untuk belajar sesuatu
dengan bantuan pendidik, maka kegiatan ini termasuk ke dalam
pendidikan informal. Demikian pula apabila hanya pihak peserta didik
yang bersengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan seorang
pendidik sedangkan pihak pendidik tidak sengaja untuk membantu
peserta didik tersebut, maka kegiatan ini tergolong pula ke dalam
pendidikan informal. Namun apabila suatu peristiwa belajar terjadi
tanpa kesengajaan dari pihak pendidik dan pihak peserta didik maka
kegiatan ini digolongkan pada pembelajaran secara kebetulan.
2.7.1. Konsep Pendidikan Luar Sekolah
2.7.1.1). Definisi Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003 pasal 1 ayat 1 mencantumkan bahwa :
“Sistem pendidikan nasional merupakan sistem
terencana yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat Pancasila”.
Untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional,
telah dibentuk subsistem pendidikan sekolah dan subsistem pendidikan
luar sekolah. Kedua sistem pendidikan tersebut memiliki kedudukan
yang sama dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu dari
sistem pendidikan nasional. Ruang lingkupnya sangat luas dan
kompleks. Agar lebih memudahkan dan memahami pengertian mengenai
Pendidikan Luar Sekolah, berikut ini adalah definisi yang diebrikan
oleh salah satu ahli Pendidikan Luar Sekolah, yaitu Sudjana (1991:7),
memberikan batasan mengenai Pendidikan Luar Sekolah sebagai berikut :
”Setiap usaha pendidikan dalam arti luas
yang padanya terdapat komunikasi yang teratur dan terarah,
diselenggarakan di luar sekolah sehingga seseorang atau sekelompok
orang memperoleh informasi tentang pengetahuan, latihan dan bimbingan
sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai yang
memungkinkan baginya untuk menjadi peserta yang lebih efisien dan
efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaannya, lingkungan
masyarakat dan bahkan lingkungan negara.
Sedangkan Napitupulu (1981) dalam Sudjana
(2001:49) memberi batasan bahwa :
”Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha
pelayanan pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem sekolah,
berlangsung seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur dan
berencana yang bertujuan untuk mengaktualisasi potensi manusia
(sikap, tindak dan karya) sehingga dapat terwujud manusia seutuhnya
yang gemar belajar-mengajar dan mampu meningkatkan taraf hidupnya.”
Selanjutnya dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah RI
No.73 tentang Pendidikan Luar Sekolah, dikemukakan bahwa “Pendidikan
Luar Sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah
baik dilembagakan atau tidak”. Selanjutnya Coombs dalam Sudjana
(2001:22), mengemukakan pengertian Pendidikan Luar Sekolah sebagai
berikut :
“Pendidikan Non Formal ialah setiap kegiatan
terorganisir dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan,
dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan
yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik
tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat bahwa
kegiatan Pendidikan Luar Sekolah dilakukan secara terprogram,
terencana, dilakukan secara mandiri ataupun merupakan bagian
pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta didik dengan tujuan
mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin serta untuk
mencapai kebutuhan hidupnya.
Fungsi Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem
pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan nilai-nilai rohani dan jasmaniah
peserta didik (warga belajar) atas dasar potensi-potensi yang
dimiliki oleh mereka sehingga terwujud insan yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang, loyal,
serta mencintai tanah air, masyarakat, bangsa dan negara.
b. Untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsa
peserta didik agar mereka mampu memahami lingkungan, bertindak
kreatif dan dapat mengaktualisasikan diri.
c. Untuk membantu peserta didik dalam membentuk
dan menafsirkan pengalaman mereka, mengembangkan kerjasama, dan
pastisipasi aktif mereka dalam memenuhi kebutuhan bersama dan
kebutuhan masyarakat.
d. Untuk mengembangkan cara berfikir dan bertindak
kritis terhadap dan di dalam lingkungannya, serta untuk memiliki
kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, walaupun dalam
bentuknya yang paling sederhana, sehingga dapat memberikan nilai
tambah bagi penghidupan dan kehidupan dirinya dan masyarakat.
e. Untuk mengembangkan sikap moral, tanggung jawab
sosial, pelestarian nilai-nilai budaya, serta keterlibatan diri
peserta didik dalam perubahan masyarakat dengan berorientasi ke masa
depan.
2.7.1.2). Ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem nilai dari Pendidikan
Nasional mempunyai nilai yang berbeda dengan pendidikan sekolah.
Menurut model Paulston dalam Sudjana (2001:30-33) mencantumkan
ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Berikut :
a. Dari segi tujuan :
1). Jangka pendek dan khusus, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
belajar tertentu yang berfungsi bagi kehidupan masa kini dan masa
depan.
2). Kurang menekankan pentingnya ijazah, hasil belajar, berijazah
atau tidak, dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di lingkungan
pekerjaan atau di masyarakat.
3). Ganjaran diperoleh selama proses dan akhir program, dalam bentuk
benda yang diproduksi, pendapatan, keterampilan.
b. Dari segi waktu
1) Relatif singkat, jarang lebih dari satu tahun, pada umumnya kurang
dari setahun, lamanya tergantung pada kebutuhan belajar peserta
didik, persyaratan untuk mengikuti program ialah kebutuhan, minat,
dan kesempatan waktu para peserta.
2) Menekankan masa sekarang dan masa depan. Memusatkan layanan untuk
memenuhi kebutuhan terasa peserta didik guna meningkatkan kemampuan
sosial ekonominya dalam waktu bebas. Menggunakan waktu tidak penuh
dan tidak terus menerus, waktu ditetapkan dengan berbagai cara sesuai
dengan kesempatan peserta didik, serta memungkinkan untuk melakukan
kegiatan belajar sambil bekerja atau berusaha.
c. Dari segi isi program
1) Kurikulum berpusat pada kepentingan peserta didik, kurikulum
bermacam ragam atas dasar perbedaan kebutuhan belajar peserta didik.
2) Mengutamakan aplikasi, kurikulum lebih menekankan keterampilan
yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungan.
3) Persyaratan masuk ditetapkan bersama peserta didik, karena program
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mengembangkan kemampuan
potensial peserta didik maka kualifikasi pendidikan formal dan
kemampuan baca tulis sering menjadi persyaratan umum.
d. Dari segi proses belajar mengajar
1) Dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga, kegiatan belajar
dilakukan di berbagai lingkungan (masyarakat, tempat bekerja) atau
disatuan pendidikan luar sekolah (sanggar kegiatan belajar) pusat
pelatihan dan sebagainya.
2) Berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, pada
waktu mengikuti program, peserta berada dalam dunia kehidupan dan
pekerjaannya, lingkungan dihubungkan secara fungsional dengan
kegiatan belajar.
3) Struktur program yang fleksibel, program belajar yang bermacam
ragam dalam jenis dan urutannya. Pengembangan kegiatan dapat
dilakukan sewaktu program sedang berjalan.
4) Berpusat pada peserta didik, kegiatan belajar dapat menggunakan
sumber belajar dari berbagai keahlian dan juru didik. Peserta didik
menjadi sumber belajar, lebih menitikberatkan kegi`tan membelajarkan
peserta didik dari pada mengajar.
5) Peghematan sumber-sumber yang tersedia, memanfaatkan tenaga dan
sarana yang terdapat di masyarakat dan lingkungan kerja untuk
menghemat biaya.
e. Dari segi pengendalian program
1) Dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik, pengendalian
tidak terpusat, koordinasi dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait,
otonomi terdapat pada tingkat program dan daerah dan menekankan pada
inisiatif dan partisipasi di tingkat daerah.
2) Pendekatan demokratis, hubungan antara pendidik dan peserta didik
bercorak hubungan sejajar atas dasar kefungsian. Pembinaan program
dilakukan secara demoktratis antara pendidika, peserta didik dan
pihak lain yang berpartisipasi.
2.7.1.3). Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah pada prinsipnya memiliki tujuan untuk
mengembangkan Ssumber daya manusia dalam kualitas dan potensi dirinya
melalui pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat, hal ini
sebagaimana dikemukakan Seameo dalam Sudjana (2001:47) sebagai
berikut :
“Tujuan pendidikan luar sekolah adalah untuk mengembangkan
pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinkan
bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan
efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat, dan
bahkan negaranya”.
Dengan demikian pendidikan luar sekolah tidak hanya membekali warga
belajarnya dengan sejumlah kemampuan (pengetahuan, sikap, dan
lain-lain) melainkan juga mempersiapkan warga belajarnya untuk
menjadi sumber daya manusia yang mampu mengaktualisasikan potensi
yang dimilikinya di tengah masyarakat.
Namun demikian PLS juga mengutamakan pelayanan kebutuhan individu
atau masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan pribadi mereka
melalui proses pendidikan sepanjang hayat.
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1991 bahwa
pendidikan luar sekolah bertujuan :
a. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini
mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu
kehidupannya.
b. Memenuhi warga belajar agar memiliki pengetahuan dan keterampilan
dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja
mencari nafkah, atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,
c. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi
dalam jalur pendidikan sekolah.
Fungsi dan Karakteristik Perencanaan Pendidikan
Non Formal
Perencanaan pendidikan non formal merupakan
kegiatan yang berkaitan dengan Pertama,
uapaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan
yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga
dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau
sumber-sumber yang dapat disediakan. Sumber itu meliputi sumber daya
manusia dan sumber daya non manusia. Sumber daya manusia mencangkup
pamong belajar, fasilitator, tutor, warga belajar, pimpinan lembaga,
dan masyarakat. Sumber daya non manusia meliputi fasilitas, alat-alat
waktu, biaya, alam hayati, dan anatu non hayati, sumber daya buatan,
dan lingkungan sosial budaya. Kedua,
perencanaan merupakan kegiatan untuk mengerahkan atau menggunakan
sumber-sumber yang terbatas secara efisien adn efektif untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan perencanaan diharapkan dapat
dihindari pentimpangan sekecil mungkin dalam penggunaan sumber-sumber
tersebut.
Sesuai dengan pengertian diatas, maka Sudjana
(2004:59) mengemukakan bahwa perencanaan pendidikan non formal
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Perencanaan merupakan model pengambilan
keputusan secara rasional dalam memilih dan menetapkan
tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan.
2. Perencanaan berorientasi pada perubahan dari
keadaan masa sekarang kepada suatu keadaan yang diinginkan dimasa
datang sebagaimana dirumuskan dalam tujuan yang akan dicapai.
3. perencanaan melibatkan orang-orang ke dalam
suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang
dinginkan.
4. perencanaan memberi arah mengenai bagaimana dan
kapan tindakan akan diambil serta siapa pihak yang terlibat dalam
tindakan atau kegiatan itu.
5. perencanaan melibatkan perkiraan tentang semua
kegiatan yang akan dilalui atau akan dilaksanakan. Perkiraan itu
meliputi kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan keberhasilan,
sumber-sumber yang digunakan, faktor-faktor pendukung dan penghambat,
serta kemungkinan resiko dari suatu tindakan yang akan dilakukan.
6. perencanaan berhubungan dengan penentuan
prioritas dan urutan tindakan yang akan dilakukan. Prioritas
ditetapkan berdasarkan urgensi atau kepentingannya, relevansi dengan
kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber yang tersedia, dan
hambatan yang mungkin dihadapi.
7. perencanaan sebagai titik awal untuk dan arahan
terhadap kegiatan pengorganisasian, penggerakan, pembinaan,
penilaian, dan pengembangan.
Secara lebih rinci, Sudjana (1993:42-43)
mengemukakan pula bahwa perencanaan memiliki karakteristik sebagai
berikut :
”(1) Merupakan model pengambilan keputusan
secara rasional dalam memilih dan menetapkan tindakan-tindakan untuk
mencapai tujuan, (2) Berorientasi pada perubahan dari keadaan masa
sekarang kepada suatu keadaan yang diinginkan pada masa depan, (3)
Perencanaan melibatkan orang-orang kedalam suatu proses untuk
menentukan dan menemukan masa depan yang diinginkan, (4) Memberi arah
tentang bagaimana dan kapan tindakan itu, (5) Melibatkan perkiraan
tentang semua kegiatan yang dilalui, (6) Berhubungan dengan penentuan
prioritas dan urutan tindakan yang akan dilakukan”.
Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Program
Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan nasional pasal 26 ayat (3), dan penjelasannya bahwa
pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang
menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
yang mencangkup Program Paket A, Paket B, dan Paket C.
Pendidikan Kesetaraan meliputi Program Paket A
setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ditujukan bagi
peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung,
tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia
produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup,
dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan
taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Definisi mengenai setara adalah sepadan dalam
civil effect, ukuran,
pengaruh, dan kedudukan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 ayat
(6) bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan
hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pengertian mengenai pendidikan kesetaraan adalah
jalur pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang
sama dengan sekolah formal, tetapi konten, konteks, metodologi, dan
pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih
memberikan konsep-konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait
dengan permasalahan lingkungan dan melatih kecakapan hidup
berorientasi kerja atau berusaha sendiri.
Standar kompetensi lulusan pendidikan kesetaraan
diberi catatan khusus. Catatan khusus meliputi: (i) pemilikan
katerampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (untuk Paket
A); (ii) pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja
(untuk Paket B); (iii) pemilikan keterampilan berwirausaha (untuk
Paket C). Perbedaan ini disebabkan oleh kekhasan karakteristik
peserta didik yang karena berbagai hal tidak mengikuti jalur formal
karena memerlukan substansi praktikal yang relevan dengan kehidupan
nyata.
Reformasi kurikulum pendidikan kesetaraan
diarahkan untuk mewujudkan insan Indonesia cerdas komprehensif dan
kompetitif bagi semua peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama
ini cenderung termarjinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan
untuk dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional dan sosial,
intelektual, dan kinestetik.
Proses pembelajaran dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta
belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan
lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar-keilmuan
yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan
sehari-hari.
Sistem pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar
memiliki kekuatan tersendiri, untuk mengembangkan kecakapan
komprehensif dan kompetitif yang berguna dalam peningkatan kemampuan
belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan yang lebih induktif dan konstruktif.
Proses pembelajaran pendidikan kesetaraan lebih
menitik beratkan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta cara
berfikir untuk memecahkannya melalui pendekatan antar-disiplin ilmu
yang relevan dengan permasalahan yang sedang dipecahkan. Dengan
demikian, penilaian dalam pendidikan kesetaraan dilakukan dengan
lebih mengutamakan uji kompetensi.
Program Pendidikan kesetaraan merupakan solusi
bagi :
1. Masyarakat yang tidak mengikuti atau tidak
menyelesaikan pendidikan formal karena banyak alasan
2. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas
belajar sendiri dengan Flexyibel Learning.
3. Kelompok masyarakat yang menentukan pendidikan
kesetaraan atas pilihan sendiri
4. Merupakan layanan khusus bagi mereka yang putus
sekolah, etnis minoritas, suku terasing, anak jalanan, korban
penyalahgunaan Napza, anak-anak yang kurang mampu, anak Lapas atau
Anak yang bermasalah dengan sosial/hukum, dan peserta didik dewasa.
Pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan
insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua
peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung
termajinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat
mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, social, intelektual
dan kinestetik.
Strategi pembelajaran dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta
belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan
lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar-keilmuan
yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan
sehari-hari.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan :
1. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia.
2. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian
3. Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4. Kelompok mata pelajaran Estetika
5. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan
Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan meliputi
10 mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban
belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Sepuluh mata
pelajaran itu meliputi:
1. Pendidikan Agama
2. Pendidikan Kewarganegaraan
3. Bahasa
4. Matematika
5. Ilmu Pengetahuan Alam
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
7. Seni dan Budaya
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
9. Keterampilan / Kejuruan
10. Muatan Lokal
Kurikulum kesetaraan mengembangkan kecakapan hidup
yang terdiri atas : kecakapan pribadi, kecakapan intelektual,
kecakapan sosial dan kecakapan vokasional.
Bahkan Materi kecakapan hidup tersebut
terintegrasi dalam jadwal dan jam belajar pendidikan kesetaraan,
sesuai dengan target yang dicanangkan untuk masing-masing tingkatan
pendidikan kesetaraan.
Jam belajar pendidikan kesetaraan meliputi :
PAKET
A setara SD/MI kelas Awal
|
PAKET
A setara SD/MI Kelas Akhir
|
PAKET
B setara SMP/MTs
|
PAKET
C setara SMA/MA
|
-
595 jam/tahun atau
|
-
680 jam/tahun atau
|
-
816 jam/tahun atau
|
-
969 jam/tahun atau
|
-
180 hari/tahun atau
|
-
180 hari/tahun atau
|
-
180 hari/tahun atau
|
-
180 hari/tahun atau
|
-
3,3 jam/hari atau
|
-3,8
jam/hari atau
|
-
4,5 jam/hari atau
|
-
5,4 jam/hari atau
|
-
34 minggu/tahun
|
34
minggu/tahun
|
-
34 minggu/tahun
|
-34
minggu/tahun
|
-
30 SKS/semester @ 35 menit
|
30
SKS/ Semester @ 40 menit
|
-
34 SKS/Semester @ 40 menit
|
-
38 SKS/Semester @ 45 menit
|
Tabel
2.1
Pembagian
jam belajar Pendidikan Kesetaraan
Catatan :
1. Substansi kerumahtanggaan diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran terkait.
2. untuk Paket B dan Paket C diberikan mata
pelajaran keterampilan kerja sebanyak 4 SKS yang memuat etika
bekerja, ekonomi lokal, dan keterampilan bermatapencaharian.
3. Mata Pelajaran Keterampilan kerja diberikan
pada tahun terakhir semester awal.
Sasaran peserta didik pendidikan kesetaraan adalah
masyarakat yang karena berbagai hal tidak dapat mengikuti pendidikan
formal mlsalnya mereka yang :
1. Mempunyai kesulitan sosial ekonomi seperti,
petani, nelayan, anak jalanan dan sejenisnya.
2. Berada di pondok pesantren yang belum
menyelenggarakan pendidikan.
3. Etnik Minoritas, terisolasi karena alasan
geografis.
4. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas
belajar sendiri dengan flexy learning.
5. Kelompok. Masyarakat yang menentukan pendidikan
kesetaraan atas pilihan sendiri.
Selanjutnya yang dapat menyelenggarakan pendidikan
kesetaraan adalah :
- Sanggar kegiatan belajar (SKB)
- Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
- Lembaga Kursus
- Komunitas Belajar
- Pondok Pesantren
- Takmin Masjid/ Mushola dan Pusat Majelis Ta’lim
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
- Yayasan Badan Hukum atau Badan Usaha
- Organisasi Kemasyarakatan
- Organisasi Sosial Masyarakat
- Organisasi Keagamaan
- Unit Pelaksana Teknis (UPT) Diklat Perikanan
- UPT Diklat Pertanian
- UPT Diklat Transmigrasi
Penyelenggara tersebut harus mempunyai struktur
organisasi yang sekurang kurangnya terdiri dari:
1) Ketua Penyelenggara
2) Tenaga Pendidik : a). Tutor Mara Pelajaran, b).
Nara Sumber Teknis (untuk pelajaran berorientasi vokasional) atau c).
Tutor kecakapan hidup (sementara. Berlaku di 6 daerah uji coba)
Guna mendukung proses belajar mengajar dalam
program Pendidikan Kesetaraan tersebut maka diperlukan adanya sarana
dan prasarana penunjang, seperti :
- Tempat Belajar
Proses belajar mengajar dapat dilaksanakan di
berbagai lokasi dan tempat yang sudah ada baik milik pemerintah,
masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, madrasah,
sarana sarana yang dimiliki pondok pesantren, Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM), masjid, pusat pusat majelis taklim, balai desa,
kantor organisasi organisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan
tempat tempat lainnya yang layak digunakan untuk kegiatan belajar
mengajar
- Administrasi
Untuk menunjang kelancaran pengelolaan kelompok
belajar diperlukan sarana administrasi sebagai berikut :
a. Papan nama
kelompok belajar.
b. Papan Struktur
orgainisasi penyelenggara.
c. Kelengkapan
administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran, yang meliputi:
i .Buku induk
peserta didik dan tenaga pendidik.
ii. Buku daftar
hadir peserta didik dan tenaga pendidik
iii. Buku
keuangan/kas umum.
iv. Buku daftar
inveritaris.
v. Buku agenda
pembelajaran.
vi. Buku laporan
bulanan tenaga pendidik.
vii. Buku agenda
surat masuk dan keluar.
Buku tanda terima
ijazah.
Buku daftar nilai
peserta didik.
Dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan
kesetaraan berlangsung dengan baik, maka dilakukan pembinaan dan
pengawasan:
a. Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah melaksanakan pembinaan terhadap
penyelenggaraan pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan
Paket C melalui standar, norma, prosedur dan acuan teknis pengelolaan
kelompok belajar.
b. Kasubdin Propinsi dan Kabupaten/Kota yang
membidangi PLS membina pelaksanaan penyelenggaraan, kegiatan belajar,
evaluasi dan kegiatan lain yang berkaitan.
c. Penilik Dikmas/TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) di
Kecamatan memantau pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pembelajaran
secara rutin.
Sistem penilaian
pendidikan kesetaraan dilakukan dengan:
a. Penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai
latihan yang terintegrasi dalam setiap modul.
b. Penilaian formatif oleh tutor nelalui
pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio,
dalam. Proses tutorial.
c. Penilaian semester.
d. Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan,
Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Ujian nasional untuk program Paket A, Paket B, dan
Paket C dan dimaksudkan untuk menyetarakan lulusan peserta didik dari
pendidikan nonformal dengan pendidikan formal/sekolah. Hal ini sesuai
dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dail Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Lulusan Ujian nasional program pendidikan
kesetaraan memperoleh pengakuan, lulusan Paket A setara dengan
lulusan SD/Ml, lulusan Paket B setara dengan lulusan SMP/MTs, dan
lulusan Paket C setara dengan Lulusan SMA/MA. Ujian Nasional
diselenggarakan selama 2 kali setiap tahun yaitu periode pertama pada
bulan April dan Mei, kemudian periode kedua pada bulan Oktober.
Peserta Ujian nasional adalah warga belajar pada
program Paket A, Paket B, dan Paket C dengan persyaratan
adiministratif sebagai berikut:
a. Terdaftar sebagai peserta didik dan tercatat
dalam Buku Induk, pada satuan pendidikan nonformal penyelenggara
Program Paket A, Paket B, atau Paket C
b. Memiliki STTB atau Ijazah atau Surat Keterangan
Yang Berpenghargaan
Sama (SKYBS) dengan STTB/Ijazah dari satuan
pendidikan yang setingkat
lebih rendah;
c. Duduk di kelas/tingkat terakhir (Kelas VI Untuk
Paket A, Kelas III untuk Paket
B dan Paket C).
d. Telah menyelesaikan seluruh materi pembelajaran
dan memiliki laporan hasil
penilaian/rapor;
d. Telah berumur sekurang kurangnya 12 tahun untuk
Paket A, 15 tahun untuk Paket B, dan 18 tahun Paket C.
e.
Mata pelajaran yang diujikan sebagai berikut:
a. Paket A, meliputi mata pelajaran PPKn,
Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA
b. Paket B, meliputi mata pelajaran PPKn,
Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPA.
c. Paket C IPS, meliputi mata pelajaran PPKn,
Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia,
dan Ekonomi
d. Paket C IPA, meliputi mata pelajaran PPKn,
Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika
dan Matematika.
e. Paket C Bahasa, meliputi mata pelajaran PPKn,
Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia,
dan Bahasa Asing pilihan
E. Pendidikan Kesetaraan Dan Pesan UUD 1945
Pendidikan nasional memainkan peranan yang sangat
penting, khususnya bagi pembangunan kehidupan intelektual nasional.
Amandemen Undang Undang Dasar 1945 dengan tegas mengamanatkan
pentingnya pendidikan nasional. Pada Pasal 31 Ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap warga . negara berhak mendapatkan pendidikan. Sedangkan
pada Pasal 31 Ayat (2) berbunyi bahwa setiap warga negara. Wajib
mengikuti pen didikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Aman demen ini hasil dari pengakuan bahwa
pendidikan adalah institusi sosial utama yang harus didukung oleh
institusi so sial lainnya termasuk hukum, sosial budaya, ekonomi, dan
politik sebagai suatu kesadaran kolektif. Pendidikan sepa tutnya juga
responsif terhadap ketidakseimbangan struktur populasi penduduk,
kesenjangan sosio ekonomi., kesen jangan teknologi, penyesuaian
sendiri terhadap nilai nilai baru dalam era globalisasi; dan ini
sepatutnya diarahkan ke pada pembangunan karakter nasional.
Pentingnya pendidikan tersebut, lebih lanjut
diuraikan dalam UndangUndang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 5
yang berbunyi:
1) Setiap warga negara. Mempunyai hak yang sama
untuk memeproleh pendidikan yang bermutu
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus
3) Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus.
4) Warga negara yang memiliki potetisi kecerdasan
dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus..
5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Untuk mewujudkan amanah tersebut maka diperlukan
sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Peran masyarakat
dalam pendidikan nasional, kerutama keterlibatan di dalam perencanaan
hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan
pasif. Iniasiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang
tidak dianggap penting.
Secara jelas di dalam Pasal 8 UU No. 20/2003
disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta
masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah, dimana proses pemben tukan komite sekolah pun belum
keseluruhannya dilaku kan dengan proses yang terbuka dan
partisipatif.
Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan dasar pun hingga, saat ini masih sangat jauh dari yang
diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum
tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan.
Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini
masih di bawah 20% sebagaimana amanat Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 dan
Pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar
diantara 2 5%.
Akibatnya adalah di berbagai daerah, pendidikan
masih berada dalam kondisi memprihatinkan. Mulai dari kekurangan
tenaga pengajar, minimnya fasilitas pendidikan hingga sukarnya
masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan
kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak anak yang memiliki
keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi
kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap
sumber kehidupan mereka.
Bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia
yang hanya cenderung mengekang kreativitas berpikir dan berkarya
serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem
pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi
pintar namun tidak menjadi cerdas. Pengekangan kreativitas ini
disebabkan pula karena kentalnya paradigma yang mengarahkan
masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan
industri.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung
hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi kemampuan akademik.
Indikator yang dipergunakan pun cenderung menggunakan indikator
kepintaran, sehingga nilai rapor maupun ijazah tidak serta merta
menunjukkan kompetensi peserta didik untuk bersaing atau bertahan
dalam era industrialisasi dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge
based economy).
Fakta lain adalah berkembangnya pendidikan menjadi
sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan
kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual beli
gelar. Jual-beli ijazah hingga jual beli nilai. Belum lagi
diakibatkan kurangnya dukungan terhadap kebutuhan tempat belajar,
telah menjadikan tumbuhnya bisnis bisnis pendidikan yang mau tidak
mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk.
Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang
kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah
mimpi.( Adi Gumilar, 2006:7)
F. Pendidikan Kesetaraan Dan Wajib Belajar
Pendidikan nasional di Indonesia masih menghadapi
tiga tantangan besar yang kompleks. Tantangan pertama,
sebaga’ akibat dari krisis ekonomi,
dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil hasil
pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua,
untuk mengantisipasi era global dunia
pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga,
sejalan dengan diberlakukannya otonomi
daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan
nasional sehingga.
Dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih
demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan
peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Selain itu, pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang menonjol, yaitu: (1) masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi
pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping
belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan
teknologi di kalangan akademis.
Undang Undang Dasar 1945 (Amandemen Bab XIII Pasal
31) dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional secara tegas mengamanahkan pentingnya pendidikan nasional
bagi seluruh warga negara Indonesia. Untuk itu, maka permasalahan
tersebut perlu diatasi dengan segera guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sistem penyelenggaraan pendidikan nasional dapat ditempuh
melalui tiga jalur yaitu: formal, nonformal dan informal.
Pendidikan jalur formal sudah banyak dipahami oleh
masyarakat, dimana sistem penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara
formal seperti yang banyak terlihat di sekitar kita. Namun pendidikan
nonformal dan infor mal atau lebih dikenal dengan Pendidikan Luar
Sekolah (PLS) merupakan jalur pendidikan yang masih banyak belum
mendapat pemahaman dan perhatian yang profesional dari pemerintah
maupun masyarakat dalam sistem pembangunan nasional. Minimnya
pemahaman, baik yang berkenaan dengan peraturan perundangan maupun
dukungan anggaran menyebab kan pemerataan pelayanan PLS bagi
masyarakat di berbagai lapisan dan diberbagai daerah belum dapat
dilaksanakan secara optimal.
Pentingnya pendidikan nonformal, maka dalam UU No.
20 Tahun 2003 Pasal 26 menyebutkan bahwa:
1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau. Pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan
belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis.
(5) kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi
masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan
hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi,
bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai
setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan
atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan.
Pemerintah telah membentuk Direktorat Pendidikan
Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Departemen
Pendidikan Nasional dengan tugas utama untuk melaksanakan penyiapan
perumusan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, dan evaluasi di
bidang pendidikan kesetaraan.
Peran pendidikan kesetaraan sangat strategis dalam
rangka memberikan bekal pengetahuan dan program penuntasan wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun. Mengingat, warga belajar yang
dilayani adalah masyarakat yang putus sekolah karena keterbatasan
ekonomi, TKI di luar negeri, calon TKI, masyarakat di daerah daerah
khusus, seperti daerah perbatasan, daerah bencana, dan daerah yang
terisolir dengan fasilitas pendidikan belum ada, dan sebagainya, maka
pendidikan kesetaraan akan sangat membantu dalam memperoleh
pendidikan.
Warga belajar yang sangat spesifik demikian, maka
kurikulum yang diajarkan juga berbeda dengan pendidikan formal.
Misal, program Paket B (setara SMP/MTs), pembagian bobot muatan
substansi kajian pengetahuan adalah 60%, dan muatan keterampilan
hidup adalah 40%. Selain itu, layanan pendidikan kesetaraan, baik
bagi masyarakat pedesaan maupun masyarakat miskin di perkotaan tetap
mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: (1) perencanaan
integratif, (2) memahami budaya setempat, (3) penguasaan bahasa, (4)
akses kepada pendidikan dasar yang mengacu kepada keterampilan hidup
yang sesuai dengan potensi lokal, budaya, dan sumberdaya.
Peran strategis pendidikan kesetaraan Paket B
terhadap program wajib belajar secara nasional mencapai sekitar 3%.
Sedangkan jumlah lulusan warga belajar yang mengikuti program Paket
A, Paket B, dan Paket C terus meningkat. Secara nasional, program
Paket C antara tahun 2004-2005 terjadi kenaikan jumlah lulusan
sebesar 76,43%. Warga didik yang mengikuti program Paket A sekitar
59.109 orang pada tahun 2004, sedangkan tahun 2005 meningkat hampir
dua kali lipat yaitu 104.284 orang. Demikian pula halnya dengan
program Paket B dan Paket C, terjadi kenaikan lulusan sebesar 15,93%
dan 56,36 % .
- Kemana pendidikan itu diarahkan?
2.8
Peran Pendidik dalam Dunia Pendidikan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Bab I
Pasal 1 ayat 5 bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat
yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan. Sedangkan menurut ayat 6 Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi
dalam menyelenggarakan pendidikan.
Proses belajar/mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala
sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi dan
sampai sejauh mana kita mengubah lingkungan, presentasi dan rancangan
pengajaran, sejauh itu pula proses belajar berlangsung (Lozanov,
1978). Dalam hal ini pengaruh dari peran seorang pendidik sangat
besar sekali. Di mana keyakinan seorang pendidik atau pengajar akan
potensi manusia dan kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan
berprestasi merupakan suatu hal yang penting diperhatikan.
Aspek-aspek teladan mental pendidik atau pengajar berdampak besar
terhadap iklim belajar dan pemikiran peserta didik yang diciptakan
pengajar. Pengajar harus mampu memahami bahwa perasaan dan sikap
peserta didik akan terlihat dan berpengaruh kuat pada proses
belajarnya. (Bobbi DePorter : 2001)
Proses pendidikan merupakan totalitas ada bersama pendidik
bersama-sama dengan anak didik; juga berwujud totalitas pengarahan
menuju ke tujuan pendidikan tertentu, disamping orde normatif guna
mengukur kebaikan dan kemanfaatan produk perbuatan mendidik itu
sendiri. Maka perbuatan mendidik dan membentuk manusia muda itu amat
sukar, tidak boleh dilakukan dengan sembrono atau sambil lalu,
tetapi benar-benar harus dilandasi rasa tanggung jawab tinggi dan
upaya penuh kearifan.
Barang siapa tidak memperhatikan unsur tanggung jawab moril serta
pertimbangan rasional, dan perbuatan mendidiknya dilakukan tanpa
refleksi yang arif, berlangsung serampangan asal berbuat saja, dan
tidak disadari benar, maka pendidik yang melakukan perbuatan
sedemikian adalah orang lalai, tipis moralnya, dan bisa berbahaya
secara sosial. Karena itu konsepsi pendidikan yang ditentukan oleh
akal budi manusia itu sifatnya juga harus etis. Tanpa
pertanggungjawaban etis ini perbuatan tersebut akan membuahkan
kesewenang-wenangan terhadap anak-didiknya. Peran seorang pengajar
atau pendidik selain mentransformasikan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya kepada anak didik juga bertugas melakukan pembimbingan
dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal ini
sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 20 Pasal 39 ayat 2.
Di samping itu merupakan suatu keharusan bagi setiap pendidik yang
bertanggung jawab, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya harus berbuat
dalam cara yang sesuai dengan keadaan peserta didik Di mana selain
peran yang telah disebutkan di atas, hal yang perlu dan penting
dimiliki oleh pendidik yaitu pendidik harus mengetahui psikologis
mengenai peserta didik. Dalam proses pendidikan persoalan psikologis
yang relevan pada hakikatnya inti persoalan psikologis terletak pada
peserta didik, sebab pendidikan adalah perlakuan pendidik terhadap
peserta didik dan secara psikologis perlakuan pendidik tersebut harus
selaras mungkin dengan keadaan peserta didik. (Sumardi Suryabrata :
2004)
2.9
Peran Pendidik dalam Proses Belajar-Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Karena Proses
belajar-mengajar mengandung serangkaian perbuatan pendidik/guru dan
siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan
timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi
berlangsungnya proses belajar-mengajar. Interaksi dalam peristiwa
belajar-mengajar ini memiliki arti yang lebih luas, tidak sekedar
hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif.
Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran,
melainkan menanamkan sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang
belajar.
Peran guru dalam proses belajar-mengajar , guru tidak hanya tampil
lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang
menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach),
pembimbing (counselor) dan manager belajar (learning
manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa
depan. Di mana sebagai pelatih, seorang guru akan berperan mendorong
siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja
keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya.
Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran, masih
tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran
belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun oleh
komputer yang paling modern sekalipun. Masih terlalu banyak
unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem, nilai, perasaan,
motivasi, kebiasaan dan Iain-lain yang diharapkan merupakan hasil
dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat
tersebut. Di sinilah kelebihan manusia dalam hal ini guru dari
alat-alat atau teknologi yang diciptakan manusia untuk membantu dan
mempermudah kehidupannya.
Namun harus diakui bahwa sebagai akibat dari laju pertumbuhan
penduduk yang cepat (di Indonesia 2,0% atau sekitar tiga setengah
juta lahir manusia baru dalam satu tahun) dan kemajuan teknologi di
lain pihak, di berbagai negara maju bahkan juga di Indonesia, usaha
ke arah peningkatan pendidikan terutama menyangkut aspek kuantitas
berpaling kepada ilmu dan teknologi. Misalnya pengajaran melalui
radio, pengajaran melalui televisi, sistem belajar jarak jauh melalui
sistem modul, mesin mengajar/ komputer, atau bahkan pembelajaran yang
menggunak system E-learning
(electronic
learning) yaitu
pembelajaran baik secara formal maupun informal yang dilakukan
melalui media elektronik, seperti internet, CD-ROM, video
tape, DVD, TV,
handphone, PDA,
dan lain-lain (Lende, 2004). Akan tetapi, e-learning
pembelajaran yang
lebih dominan menggunakan internet (berbasis web).
Sungguhpun demikian guru masih tetap diperlukan. Sebagai contoh dalam
pengajaran modul, peranan guru sebagai pembimbing belajar justru
sangat dipentingkan. Dalam pengajaran melalui radio, guru masih
diperlukan terutama dalam menyusun dan mengembangkan disain
pengajaran. Demikian halnya dalam pengajaran melalui televisi.
Dengan demikian dalam sistem pengajaran mana pun, guru selalu menjadi
bagian yang tidak terpisahkan, hanya peran yang dimainkannya akan
berbeda sesuai dengan tuntutan sistem ter sebut. Dalam pengajaran
atau proses belajar mengajar guru memegang peran sebagai sutradara
sekaligus aktor. Artinya, pada gurulah tugas dan tanggung jawab
merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah.
Sebagaimana telah di ungkapkan diatas, bahwa peran seorang guru
sangatlah signifikan dalam proses belajar mengajar. Peran guru dalam
proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar,
manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb.
Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling
dominan dan klasifikasi guru sebagai:
1) Demonstrator
2) Manajer/pengelola
kelas
3) Mediator/fasilitator
4) Evaluator
2.9.1)
Guru sebagai demonstrator
Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau
pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi
pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya
dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya
karena hal ini akan sangat menetukan hasil belajar yang dicapai oleh
siswa. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru ialah bahwa
ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti bahwa guru harus belajar
terus-menerus. Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan
berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya
sebagai demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang
diajarkannya secara didaktis. Maksudnya ialah agar apa yang
disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh anak didik.
2.9.2)
Guru Sebagai Pengelola Kelas
Mengajar dengan sukses berarti harus ada keterlibatan siswa secara
aktif untuk belajar. Keduanya berjalan seiring, tidak ada yang
mendahului antara mengajar dan belajar karena masing-masing memiliki
peran yang memberikan pengaruh satu dengan yang lainnya.
Keberhasilan/kesuksesan guru mengajar ditentukan oleh aktivitas
siswa dalam belajar, demikian juga keberhasilan siswa dalam belajar
ditentukan pula oleh peran guru dalam mengajar. Mengajar berarti
menyampaikan atau menularkan pengetahuan dan pandangan (Ad.
Rooijakkers, 1990:1). William Burton mengemukakan bahwa mengajar
diartikan upaya memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan, dan
dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Dalam hal ini
peranan guru sangat penting dalam mengelola kelas agar terjadi PBM
bias berjalan dengan baik.
Mengajar adalah aktivitas/kegiatan yang dilakukan guru dalam kelas
atau lingkungan sekolah. Dal`m proses mengajar, pastilah ada tujuan
yang hendak dicapai oleh guru yaitu agar siswa memahami, mengerti,
dan dapat mengaplikasikan ilmu yang mereka dapatkan. Tujuan
mengajar juga diartikan sebagai cara untuk mengadakan perubahan yang
dikehendaki dalam tingkah laku seorang siswa (Muchtar & Samsu,
2001:39).
Dalam hal ini tentu saja guru berharap siswa mau belajar, baik dalam
jam pelajaran tersebut atau sesudah materi dari guru ia terima.
Menurut Sagala (2003:12), belajar adalah kegiatan individu memperoleh
pengetahuan, perilaku, dan keterampilan dengan cara mengolah bahan
belajar. Proses belajar mengajar akan berlangsung dengan baik jika
guru dan siswa sama-sama mengerti bahan apa yang akan dipelajari
sehingga terjadi suatu interaksi yang aktif dalam PBM di kelas dan
hal ini menjadi kunci kesuksesan dalam mengajar. Dengan demikian
proses pembelajaran terjadi dalam diri siswa. Pembelajaran
merupakan suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja
dikelola untuk memungkinkan siswa turut merespon situasi
tertentu yang ia hadapi (Corey, 1986:195)
Siswa sebagai subjek belajar, mempunyai pandangan/harapan dalam
dirinya untuk seorang guru yang mereka anggap sukses mengajar di
kelas. Apa sajakah pandangan para siswa tersebut? Menurut Etiwati
seorang Guru SMK PENABUR yang penulis kutip dari situs SMK 4 PENABUR
dia menyebutkan bahwa para siswa menilai guru yang sukses mengajar
itu adalah guru yang:
- tidak membuat siswa bosan dan takut
- mempunyai selera humor
- tidak mudah marah
- mau diajak berdialog dengan siswa
- menghargai pendapat siswa dan tidak mudah menyalahkan
- menghargai keberadaan siswa
- tidak pilih kasih terhadap siswa
- menguasai & menjelaskan materi dengan baik dan dimengerti oleh siswa serta mau memaparkan kembali ketika ada siswa belum jelas/belum paham.
Ternyata beragam pendapat siswa tersebut tidak ada satupun yang
menganggap kesuksesan seorang guru jika seluruh kelas tuntas saat uji
ompetensi/ulangan. Jika demikian, apakah ketuntasan dalam ujian
menjadi tidak perlu? Para siswa menjawab bahwa ketuntasan dalam ujian
merupakan bagian tanggung jawab siswa dalam belajar karena hal
tersebut berhubungan dengan keberhasilan individu. Namun, sebagai
guru, kita pun tentu tidak akan melepaskan tanggung jawab atas hasil
belajar siswa.
Selain siswa, penulis pun dapat sedikitnya menggambarkan pendapat
para guru tentang topik tersebut. Bapak & ibu guru
berpendapat bahwa mengajar dengan sukses itu:
- jika siswa dapat menerima materi/bahan ajar dan hasilnya sesuai target yang diharapkan,
- jika siswa antusias menyimak dan memberikan pertanyaan mendalam tentang materi yang mereka terima serta mengaplikasikannya,
- jika program tercapai tepat waktu, materi dapat diterima siswa, dan terjadi perubahan dalam diri siswa
- jika mampu membuat siswa mengerti apa yang diajarkan oleh guru serta ada perubahan dalam diri siswa, dan mereka me rasa nyaman dalam PBM,
- jika dapat menyampaikan materi dengan cara/metode yang baik dan menarik, siswa memahami serta merespon dengan positif, aktif, dan hasil evaluasinya baik,
- jika suasana kelas kondusif untuk belajar,
- jika ada interaksi dalam PBM secara aktif, perubahan terjadi pada semua aspek.
Dari berbagai pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa mengajar
dengan sukses adalah jika guru dapat memberikan materi kepada siswa
dengan media dan metode yang menarik, menciptakan situasi belajar
yang kondusif dalam kelas sehingga tercipta interaksi belajar
aktif. Dengan begitu akan terjadi proses perubahan dalam diri siswa
bukan hanya pada hasil belajar tetapi juga pada perilaku dan sikap
siswa.
Jadi, mengajar dengan sukses itu tidak hanya semata-mata memberikan
pengetahuan yang bersifat kognitif saja, tetapi di dalamnya harus ada
perubahan berpikir, sikap, dan kemauan supaya siswa mau terus
belajar. Timbulnya semangat belajar dalam diri siswa untuk
mencari sumber-sumber belajar lain merupakan salah satu indikasi
bahwa guru sukses mengajar siswanya. Dengan demikian kesuksesan dalam
mengajar adalah seberapa dalam siswa termotivasi untuk mau terus
belajar sehingga mereka akan menjadi manusia-manusia pembelajar.
Caranya? Sebagai guru mari kita mau membuka diri dan melihat secara
jernih apa yang menjadi harapan siswa dalam diri kita
2.9.3)
Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan
alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar.
Dengan demikian jelaslah bahwa media pendidikan merupakan dasar yang
sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian
integral demi berhasilnya proses pendidikan.
Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar
yang
kiranya berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses
belajar-mengajar,
baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah ataupun surat
kabar.
2.9.4)
Guru sebagai evaluator
Dalam dunia pendidikan, setiap jenis pendidikan atau bentuk
pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan
akan diadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu
periode pendidikan tadi orang selalu mengadakan penilaian terhadap
hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh
pendidik. Penilaian perlu dilakukan, karena dengan penilaian guru
dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa
terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar.
Siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan?
2.10 Orang Tua atau Guru
Siapa yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan anak,
gurukah atau orang tua? Jawabannya tentu saja tergantung pada titik
pandang setiap orang yang mencoba untuk menjawabnya.
Pada umumnya tanggung jawab mendidik anak diawali oleh kepedulian dan rasa tanggung jawab orang tua.
Perhatikanlah bagaimana sibuknya sepasang orang tua yang baru punya bayi dan anak Balita dalam mencukupi kebutuhan dan mendidik buah hatinya.
Mereka tampak begitu gembira dan menuturkan kepada siapa saja yang mau mendengar tentang perkembangan dan kemajuan yang telah diraih buah hatinya itu.
Begitu anak dikirim ke Taman Kanak-kanak untuk belajar bersosial maka sebagian orang tua cenderung menyerahkan urusan mendidik anak pada sang guru. Namun sebagian masih tetap memantau, mendorong dan mengikuti perkembangan mereka sampai pendidikan Sekolah Dasar selesai.
Dalam pengalaman ditemukan bahwa banyak orang tua yang jarang mengayomi anak belajar seperti saat mereka masih kanak-kanak, begitu mereka duduk di bangku SMP dan tingkat SMA.
Sering kita dengan keluhan orang tua tentang prestasi anak mereka anjlok yang setelah berada di SMP. Atau mereka kaget dengan watak anak yang dulu begitu terpuji tetapi jadi memusingkan saat duduk di bangku SLTA.
Kalau ini terjadi tentu ada pihak tertentu yang dapat untuk disalahkan. Setiap murid atau anak didik memiliki tiga aspek kehidupan, yaitu kognitif (otak), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Ada kecenderungan masyarakat untuk melemparkan kesalahan pada guru “gagal dalam mengajar” bila prestasi kognitif dan psikomotorik anak di sekolah dinilai rendah, dan melemparkan kesalahan kepada orang tua atau lingkungan bila menjumpai anak tidak punya sikap dan akhlak yang baik.
Pada umumnya, bila anak mulai memasuki jenjang pendidikan formal maka orang tua menyerahkan urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Kepedulian nyata orang tua yang sering tampak adalah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak yaitu dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan untuk menekuni hobi dan hampir tidak punya waktu untuk menemani dan mengikuti perkembangan anak dalam belajar.
Banyak orang tua yang memiliki waktu lowong namun jarang yang memanfaatkannya untuk mendidik anak.
Penyebabnya adalah mereka sendiri tidak memiliki konsep bagaimana cara mendidik keluarga. Konsep mendidik anak bagi keluarga awam adalah menyerahkan anak ke mesjid (atau institusi-institusi agama) dan ke sekolah, kemudian menghujani mereka dengan nasehat-nasehat, anjuran dan perintah atau kemudian memarahi anak kalau melanggar. Sebuah konsep pendidikan yang terlihat terlalu sederhana bukan? Dan ternyata hasilnya juga mengecewakan.
Dari pengalaman bahwa umumnya hampir setiap anak (terutama remaja) tidak terlalu memerlukan nasehat, apalagi nasehat yang diberikan secara bertubi-tubi dan nada mendikte.
Anak akan mencap orang tua yang begini sebagai orang tua yang sangat cerewet. Sebenarnya yang diperlukan anak dari orang tua adalah contoh teladan (contoh langsung) serta penyediaan sarana belajar dan kasih sayang.
Sedangkan memberikan nasehat apalagi nasehat dengan nada yang penuh emosi akan membuat anak menutup pintu hatinya dan bahkan juga menjauhi orang tuanya.
Demikian pula di sekolah, anak didik cenderung untuk membuat jarak dengan guru-guru yang pemarah.
Selama anak berada dalam usia belajar di sekolah formal, masyarakat (orang tua) cenderung menempatkan beban pendidikan ke atas pundak guru.
Di sekolah, anak diperkenalkan dengan sejuta aturan, mulai dari bagaimana hidup yang disiplin sampai kepada bagaimana mencapai keberhasilan hidup kelak. Di sekolah anak diajar untuk mengembangkan potensi diri, diajarkan sejumlah konsep dasar tentang kehidupan dan dibekali dengan tugas rumah (PR) sebelum pulang.
Namun di rumah, kecuali bagi segelintir keluarga, anak dibiarkan hidup tanpa aturan, tidak diajar mandiri, terlalu didikte, dan terlalu banyak dibantu sehingga konsep belajar di sekolah akan menjadi kontradiksi dengan konsep belajar di rumah dengan porsi belajar yang terlalu sedikit dibandingkan dengan porsi hiburan dan bersantai. Kita tahu bahwa kualitas pendidikan anak didik di sekolah yang pada umumnya cenderung turun atau selalu jalan di tempat. Walau banyak sekolah yang mengklaim bahwa telah terjadi peningkatan kualitas anak didik di sekolahnya. Secara umum itu hanyalah sebatas angka-angka hasil rekayasa dan manipulasi data.
Untuk fakta yang jelas, silahkan terjun ke lapangan untuk mengobservasi kualitas murid-murid pada setiap sekolah. Maka mayoritas terlihat murid yang minat belajarnya begitu rendah dalam suasana belajar penampilan mereka terlihat lesu dan santai ibarat orang kurang darah.
Melihat kondisi anak didik yang lesu karena fikiran mereka kurang terkondisi sejak dari rumah maka ini akan membuat guru kehilangan strategi dalam mdmotivasi mereka. Umumnya metode yang disodorkan guru agar anak didik bergiat adalah dengan cara marah-marah dan menakut-nakuti atas ketidakacuhan mereka selama belajar maka hasilnya adalah nihil.
Sebenarnya bila anak telah memasuki jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA, maka tanggung jawab mendidik menjadi tanggung jawab bersama antar guru dan orang tua.
Keberadaan orang tua dan guru dalam urusan mendidik adalah ibarat dua sisi mata uang. Hasil pendidikan tidak akan pernah sempurna kalau diserahkan saja kepada guru atau kepada orang tua yang notabenenya bukan sebagai pendidik.
Selama ini terlihat kecenderungan bahwa sekolah sendirianlah yang memikul beban pendidikan. Sejumlah pelatihan, penataran, seminar, lokakarya dan program penyegaran lain telah diberikan pada guru-guru dengan harapan agar pendidikan lebih berkualitas. Selama mengikuti kegiatan ini, guru memperoleh pembekalan tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang ideal.
Dengan harapan agar pasca pelatihan mereka akan mampu membuat berbagai terobosan dan inovasi baru. Namun dalam kenyataan hasilnya tetap belum menggembirakan, malah cenderung tampak bahwa pasca pelatihan guru selalu menerapkan teknik dan metode mengajar seperti semula.
Kini terlihat bahwa untuk mendongkrak mutu pendidikan bangsa, sekolah bergerak sendirian tanpa melibatkan orang tua secara tegas dan memberikan isyarat tentang apa dan bagaimana seharusnya orang tua terhadap anak di rumah. Padahal untuk ini pemerintah telah menghabiskan dana jutaan dolar dan guru menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengikuti berbagai pelatihan dan penataran hanya demi perubahan kecil saja dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sekarang kita patut bertanya bahwa adakah ahli pendidikan yang memikirkan untuk memberikan pelatihan terhadap orang tua murid seperti memberi pelatihan kepada guru-guru atau adakah pihak sekolah secara kontinyu melowongkan waktu untuk berbagi pengalaman hati ke hati secara rileks tentang pendidikan dalam bentuk komunikasi dua arah dan tanpa menggurui orang tua?
Kepedulian orang tua dalam mendidik anak yang belajar di Sekolah Dasar apalagi pada tingkat SMP dan SLTA, seperti kepedulian mereka mendidik anak saat masih di Taman Kanak-kanak, mencukupi kebutuhan makanan, hiburan, mengembangkan sosial dan emosional, sampai dengan penyediaan sarana hiburan dan pendidikan adalah mutlak diperlukan. Dalam kenyataannya kepedulian orang tua nyaris berkurang. Pada hal saat anak menginjak remaja dan mengalami krisis jati diri mereka sangat memerlukan orang tua sebagai teman pendamping untuk berbagi pengalaman dan kegelisahan.
Memang tidak mudah untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak sampai tingkat remaja. Namun kalau orang tua selalu mau belajar dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dalam hidup maka tidak akan ada hal-hal yang terlalu sulit untuk diatasi. Dalam zaman informasi ini yang mana pengetahuan serba mudah untuk diperoleh, maka setiap orang akan dapat mencari solusi dari buku, bacaan lain, dan dari internet serta paling kurang dari teman dalam bentuk saling berbagi pengalaman.
Kita perlu mengritik orang tua yang terlalu menomorsatukan karir dan pekerjaan tetapi sangat mengabaikan pendidikan anak sendiri. Dalam hidup ini cukup banyak kita temui orang-orang yang mantap dalam pekerjaan dan sangat trampil dalam mendidik dan membina orang lain tetapi gagal dalam membina anak-anak sendiri, apalagi kalau sampai drop-out dari sekolah. Kita pantas mengacungkan jempol kepada sang ayah dan ibu walau hanya pendidikan formal biasa-biasa saja tetapi punya wawasan dan konsep dalam mendidik keluarga, telah mampu berpartisipasi dalam menyukseskan pendidikan anak-anak di sekolah.
Dalam mendidik keluarga dan ikut menyukseskan pendidikan anak di sekolah, setiap orang tua perlu mengorbankan waktu, tenaga dan uangnya. Meluangkan waktu untuk membuat kebersamaan dengan anak adalah sangat penting. Adalah sangat tidak berguna meluangkan waktu sampai berjam-jam tetapi kebersamaan dengan anak penuh dengan pengalaman kemarahan dan beda pendapat. Anak memerlukan kebersamaan yang menyenangkan dan bermutu dan teratur tiap hari. Untuk itu setiap orang tua perlu untuk menata waktu dan keluarga kembali sebelum hal-hal yang tak diingini terjadi. Semoga menjadi renungan bagi setiap orang tua.
Pada umumnya tanggung jawab mendidik anak diawali oleh kepedulian dan rasa tanggung jawab orang tua.
Perhatikanlah bagaimana sibuknya sepasang orang tua yang baru punya bayi dan anak Balita dalam mencukupi kebutuhan dan mendidik buah hatinya.
Mereka tampak begitu gembira dan menuturkan kepada siapa saja yang mau mendengar tentang perkembangan dan kemajuan yang telah diraih buah hatinya itu.
Begitu anak dikirim ke Taman Kanak-kanak untuk belajar bersosial maka sebagian orang tua cenderung menyerahkan urusan mendidik anak pada sang guru. Namun sebagian masih tetap memantau, mendorong dan mengikuti perkembangan mereka sampai pendidikan Sekolah Dasar selesai.
Dalam pengalaman ditemukan bahwa banyak orang tua yang jarang mengayomi anak belajar seperti saat mereka masih kanak-kanak, begitu mereka duduk di bangku SMP dan tingkat SMA.
Sering kita dengan keluhan orang tua tentang prestasi anak mereka anjlok yang setelah berada di SMP. Atau mereka kaget dengan watak anak yang dulu begitu terpuji tetapi jadi memusingkan saat duduk di bangku SLTA.
Kalau ini terjadi tentu ada pihak tertentu yang dapat untuk disalahkan. Setiap murid atau anak didik memiliki tiga aspek kehidupan, yaitu kognitif (otak), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Ada kecenderungan masyarakat untuk melemparkan kesalahan pada guru “gagal dalam mengajar” bila prestasi kognitif dan psikomotorik anak di sekolah dinilai rendah, dan melemparkan kesalahan kepada orang tua atau lingkungan bila menjumpai anak tidak punya sikap dan akhlak yang baik.
Pada umumnya, bila anak mulai memasuki jenjang pendidikan formal maka orang tua menyerahkan urusan pendidikan anak kepada guru-guru di sekolah. Kepedulian nyata orang tua yang sering tampak adalah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan anak yaitu dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan untuk menekuni hobi dan hampir tidak punya waktu untuk menemani dan mengikuti perkembangan anak dalam belajar.
Banyak orang tua yang memiliki waktu lowong namun jarang yang memanfaatkannya untuk mendidik anak.
Penyebabnya adalah mereka sendiri tidak memiliki konsep bagaimana cara mendidik keluarga. Konsep mendidik anak bagi keluarga awam adalah menyerahkan anak ke mesjid (atau institusi-institusi agama) dan ke sekolah, kemudian menghujani mereka dengan nasehat-nasehat, anjuran dan perintah atau kemudian memarahi anak kalau melanggar. Sebuah konsep pendidikan yang terlihat terlalu sederhana bukan? Dan ternyata hasilnya juga mengecewakan.
Dari pengalaman bahwa umumnya hampir setiap anak (terutama remaja) tidak terlalu memerlukan nasehat, apalagi nasehat yang diberikan secara bertubi-tubi dan nada mendikte.
Anak akan mencap orang tua yang begini sebagai orang tua yang sangat cerewet. Sebenarnya yang diperlukan anak dari orang tua adalah contoh teladan (contoh langsung) serta penyediaan sarana belajar dan kasih sayang.
Sedangkan memberikan nasehat apalagi nasehat dengan nada yang penuh emosi akan membuat anak menutup pintu hatinya dan bahkan juga menjauhi orang tuanya.
Demikian pula di sekolah, anak didik cenderung untuk membuat jarak dengan guru-guru yang pemarah.
Selama anak berada dalam usia belajar di sekolah formal, masyarakat (orang tua) cenderung menempatkan beban pendidikan ke atas pundak guru.
Di sekolah, anak diperkenalkan dengan sejuta aturan, mulai dari bagaimana hidup yang disiplin sampai kepada bagaimana mencapai keberhasilan hidup kelak. Di sekolah anak diajar untuk mengembangkan potensi diri, diajarkan sejumlah konsep dasar tentang kehidupan dan dibekali dengan tugas rumah (PR) sebelum pulang.
Namun di rumah, kecuali bagi segelintir keluarga, anak dibiarkan hidup tanpa aturan, tidak diajar mandiri, terlalu didikte, dan terlalu banyak dibantu sehingga konsep belajar di sekolah akan menjadi kontradiksi dengan konsep belajar di rumah dengan porsi belajar yang terlalu sedikit dibandingkan dengan porsi hiburan dan bersantai. Kita tahu bahwa kualitas pendidikan anak didik di sekolah yang pada umumnya cenderung turun atau selalu jalan di tempat. Walau banyak sekolah yang mengklaim bahwa telah terjadi peningkatan kualitas anak didik di sekolahnya. Secara umum itu hanyalah sebatas angka-angka hasil rekayasa dan manipulasi data.
Untuk fakta yang jelas, silahkan terjun ke lapangan untuk mengobservasi kualitas murid-murid pada setiap sekolah. Maka mayoritas terlihat murid yang minat belajarnya begitu rendah dalam suasana belajar penampilan mereka terlihat lesu dan santai ibarat orang kurang darah.
Melihat kondisi anak didik yang lesu karena fikiran mereka kurang terkondisi sejak dari rumah maka ini akan membuat guru kehilangan strategi dalam mdmotivasi mereka. Umumnya metode yang disodorkan guru agar anak didik bergiat adalah dengan cara marah-marah dan menakut-nakuti atas ketidakacuhan mereka selama belajar maka hasilnya adalah nihil.
Sebenarnya bila anak telah memasuki jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA, maka tanggung jawab mendidik menjadi tanggung jawab bersama antar guru dan orang tua.
Keberadaan orang tua dan guru dalam urusan mendidik adalah ibarat dua sisi mata uang. Hasil pendidikan tidak akan pernah sempurna kalau diserahkan saja kepada guru atau kepada orang tua yang notabenenya bukan sebagai pendidik.
Selama ini terlihat kecenderungan bahwa sekolah sendirianlah yang memikul beban pendidikan. Sejumlah pelatihan, penataran, seminar, lokakarya dan program penyegaran lain telah diberikan pada guru-guru dengan harapan agar pendidikan lebih berkualitas. Selama mengikuti kegiatan ini, guru memperoleh pembekalan tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang ideal.
Dengan harapan agar pasca pelatihan mereka akan mampu membuat berbagai terobosan dan inovasi baru. Namun dalam kenyataan hasilnya tetap belum menggembirakan, malah cenderung tampak bahwa pasca pelatihan guru selalu menerapkan teknik dan metode mengajar seperti semula.
Kini terlihat bahwa untuk mendongkrak mutu pendidikan bangsa, sekolah bergerak sendirian tanpa melibatkan orang tua secara tegas dan memberikan isyarat tentang apa dan bagaimana seharusnya orang tua terhadap anak di rumah. Padahal untuk ini pemerintah telah menghabiskan dana jutaan dolar dan guru menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengikuti berbagai pelatihan dan penataran hanya demi perubahan kecil saja dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sekarang kita patut bertanya bahwa adakah ahli pendidikan yang memikirkan untuk memberikan pelatihan terhadap orang tua murid seperti memberi pelatihan kepada guru-guru atau adakah pihak sekolah secara kontinyu melowongkan waktu untuk berbagi pengalaman hati ke hati secara rileks tentang pendidikan dalam bentuk komunikasi dua arah dan tanpa menggurui orang tua?
Kepedulian orang tua dalam mendidik anak yang belajar di Sekolah Dasar apalagi pada tingkat SMP dan SLTA, seperti kepedulian mereka mendidik anak saat masih di Taman Kanak-kanak, mencukupi kebutuhan makanan, hiburan, mengembangkan sosial dan emosional, sampai dengan penyediaan sarana hiburan dan pendidikan adalah mutlak diperlukan. Dalam kenyataannya kepedulian orang tua nyaris berkurang. Pada hal saat anak menginjak remaja dan mengalami krisis jati diri mereka sangat memerlukan orang tua sebagai teman pendamping untuk berbagi pengalaman dan kegelisahan.
Memang tidak mudah untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak sampai tingkat remaja. Namun kalau orang tua selalu mau belajar dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan dalam hidup maka tidak akan ada hal-hal yang terlalu sulit untuk diatasi. Dalam zaman informasi ini yang mana pengetahuan serba mudah untuk diperoleh, maka setiap orang akan dapat mencari solusi dari buku, bacaan lain, dan dari internet serta paling kurang dari teman dalam bentuk saling berbagi pengalaman.
Kita perlu mengritik orang tua yang terlalu menomorsatukan karir dan pekerjaan tetapi sangat mengabaikan pendidikan anak sendiri. Dalam hidup ini cukup banyak kita temui orang-orang yang mantap dalam pekerjaan dan sangat trampil dalam mendidik dan membina orang lain tetapi gagal dalam membina anak-anak sendiri, apalagi kalau sampai drop-out dari sekolah. Kita pantas mengacungkan jempol kepada sang ayah dan ibu walau hanya pendidikan formal biasa-biasa saja tetapi punya wawasan dan konsep dalam mendidik keluarga, telah mampu berpartisipasi dalam menyukseskan pendidikan anak-anak di sekolah.
Dalam mendidik keluarga dan ikut menyukseskan pendidikan anak di sekolah, setiap orang tua perlu mengorbankan waktu, tenaga dan uangnya. Meluangkan waktu untuk membuat kebersamaan dengan anak adalah sangat penting. Adalah sangat tidak berguna meluangkan waktu sampai berjam-jam tetapi kebersamaan dengan anak penuh dengan pengalaman kemarahan dan beda pendapat. Anak memerlukan kebersamaan yang menyenangkan dan bermutu dan teratur tiap hari. Untuk itu setiap orang tua perlu untuk menata waktu dan keluarga kembali sebelum hal-hal yang tak diingini terjadi. Semoga menjadi renungan bagi setiap orang tua.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan, diantaranya :
1) Peran guru
sebagai demonstrator dalam PBM guru hendaknya senantiasa menguasai
bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa
mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu
yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menetukan hasil belajar
yang dicapai oleh siswa.
2) Dalam
kapasitasnya sebagai penglola kelas, seorang guru dituntut untuk bisa
menjadikan suasana kelas menjadi kondusif sehingga proses belajar
mengajara atau penyampaian pengetahuan dari guru ke murid atau proses
pertukaran ilmu dan pengetahuan diantara siswa yang satu dengan yang
lainnya bisa berjalan dengan baik.
3) Sebagai mediator
guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang
media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi
guna lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar.
4) Setiap kegiatan
belajar mengajar hendaknya guru senantiasa melakukan evaluasi atau
penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui keberhasilan
pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta
ketepatan atau keefektifan metode mengajar.
3.2
Saran
Untuk
tercapainya tujuan pokok pendidikan hendaklah peran pendidik tidak
hanya berorientasi pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek
kognitif saja, melainkan juga berorientasi pada bagaimana seorang
anak didik bisa belajar dari lingkungan dari pengalaman dan kehebatan
orang lain, dari kekayaan luasnya hamparan alam, sehingga dengan
pementapan adanya tugas dan peran guru dalam dunia pendidikan
khususnya dalam kegiatan proses belajar mengajar diharapkan guru
dapat mengetahui tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik dan
diharapkan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan para peserta
didiknya sehingga harapan tercapainya tujuan pendidikan bisa dengan
mudah terwujudkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggoro, Mohammad Toha. 2001. “Tutorial Elektronik melalui Internet
dan Fax Internet” dalam Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh,
Volume 2, No. 1,
H. Emil Rosmali, SE. Tugas dan Peran Guru.
http://www.alfurqon.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=110
Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan
Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
: Anem Kosong Anem
Makmun, Syamsudin Abin. 1999. Psikologi Pendidikan. Bandung :
Remaja Rosdakarya
Prof. DR. Nana Sudjana, 2004, Proses Belajar Mengajar, Bandung: CV
Algesindo
Sidi, Djati Indra. 2003. Menuju
Masyarakat Belajar. Jakarta :
Paramadina
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi
Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Tirtarahardja, Umar. 2000. Pengantar
Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Th.
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
: Cemerlang
Maret 2001. Tangerang: Universitas Terbuka.
Sutrisno. (2007). E-learning di Sekolah dan
(sumber dari Internet: 17 Agustus 2007).
Etiwati (Guru
SMAK 4 PENABUR), Mengajar dengan Sukses,
http://tpj.bpkpenabur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=154&Itemid=27
Langganan:
Postingan (Atom)